Menatap waktu, membiaskan begitu banyak laku. Disuatu saat, ketika putihnya pagi memulai hari. Anganku merambatkan sebuah harap. Meski ingin sekali terkatakan, namun sungguh tertahan dengan sekuat tenaga dari sisa lelah hari ini. “Jangan pernah menaruh harapan pada manusia, jika tak ingin kecewa”, demikian sebuah petuah agung menjadi pegangan. Menjadi senjata paling ampuh untuk tetap berdaya sendiri, hanya mengandalkan diri sendiri. Dan menumpukkan semua harapan, tanpa pengecualian urusan, hanya kepada-Nya.
Mungkin
benar, sesiap apapun untuk kecewa, tetap saja itu perasaan tak nyaman, bahkan
menyakitkan. Yang tak hanya mengubah senyuman jadi raut redup, tapi juga sesal. Dan ini berlaku tidak hanya untuk diri sendiri, tapi
juga sebaliknya, pun untuk orang lain. Maka, jangan pernah berharap pada
manusia, dalam urusan apapun.
Angkuhkah ini? Karena selintas seperti menjadi semacam arogansi harga diri. Atau jangan-jangan ini juga masuk dalam wilayah keegoisan, yang hadir dalam bentuk yang tak hanya berbeda, tapi juga menelusup halus dicara pandang hidupku. Menjadi penyebab utama seringnya mengabaikan lelah dan lemah, diatas nama kemuslimahan.
Namun,
bisakah ku argumentasikan sebuah wejangan? tentang garis dasar perbedaan antara harapan dan
orientasi. Yang dimaknai menjadi perbedaan antara menerima dan memberi.
Sehingga untukku, awal kata “untuk apa” menjadi lebih penting dari “mengapa.”
Dan menjadi sangat penting, ketika dalam sebuah urusan masa depan, pertanyaan
ini ditunjukkan tak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk sang penawar
tempat labuhan.
Jika ini memang sebuah kesalahan, menjadi kewajibanku untuk memperbaiki. Tapi jika ini adalah kebenaran, aku harus bertahan disini, diingin yang tak bisa diungkap. Hanya saja, terladang hati ini luruh, jiwa ini membasah, ketika ku dapati kisah pada suri tauladan.
Hmm..iriku menjadi, mengingat disaat-saat aku keteteran mengendalikan emosi, akulah yang harus berusaha keras terus mengingatinya sendiri.
Lalu apanya yang salah? Jika Aisyah yang begitu hebat pun punya seseorang yang begitu dekat, mendampingi, mengingatkan dan menguatkannya. Tak hanya Aisyah ra, Nabi Muhammad Saw, sang manusia paling sempurna di jagad raya ini, bukankah sebelumnya punya Khadijah ra, yang begitu sigap menentramkan gelisahnya, selepas wahyu pertama turun?
Itulah mungkin sebabnya, mengapa penguat itu disebut belahan jiwa. Yang pada akhirnya orang yang terbiasa sendiri akan kehilangan alasan untuk mempertahankan kesendiriannya.
suka sekali tiap kalimatnya, terlebih kalimat terakhir yang sangat related :') semangat terus ya Kak :D
BalasHapusTerima kasih kak 😚
Hapus